Kamis, 16 Juni 2011 | 1:27 WIB
Bangsa
kita tengah berada di tengah amukan badai besar: neoliberalisme. Dalam
kecamuk badai besar itu, bangsa kita tidak hanya berhadapan dengan
tantangan yang sangat sulit, tetapi juga terancam terseret kembali ke
belakang, atau bahkan mungkin akan tenggelam dan hilang ditelan sejarah.
Salah
satu bentuk krisis yang kita alami sekarang ini adalah krisis karakter
sebagai sebuah bangsa. Sekarang ini, secara perlahan-lahan tapi pasti,
bangsa kita semakin terseret untuk mengikuti arus “free fight
liberalism”—sebuah faham yang dulu sangat dilawan oleh Bung Karno karena
menyeret bangsa kita pada individualisme atau ego-sentrisme.
Lebih
parah lagi, akibat angin topan neoliberal yang berhembus kencang, jiwa
dan karakter bangsa kita pun semakin kering. Padahal, jika kita kembali
mempelajari sejarah bangsa kita, maka akan segera diketahui bahwa bangsa
kita adalah bangsa yang kaya dengan nilai dan falsafah yang luhur.
Salah satunya adalah gotong-royong.
Dalam
persoalan yang sederhana saja, misalnya soal kejujuran, bangsa kita
mulai keteteran. Kasus Ibu Siami, seorang ibu yang berani mengungkap
kasus “contek massal” di Jawa Timur, adalah contohnya. Ibu yang jujur
ini justru diusir oleh warga sekampungnya.
Kebiasaan
mencontek adalah satu contoh. Sedang sebelumnya sudah ada kasus lain
seperti professor yang melakukan tindakan plagiat. Belum lagi
perkelahian antara pelajar, antar mahasiswa, antar kampung, ataupun
antar-etnis.
Bukti
konkret lainnya adalah ketika melihat mentalitas pejabat negara. Kalau
ada pejabat yang jujur dan berdedikasi kepada pekerjaannya, maka itu
menjadi peristiwa langka di jaman sekarang ini. Sebaliknya, hampir semua
pejabat negara identik dengan korupsi, suap, dan penyalah-gunaan
kekuasaan. Seorang koruptor, meskipun mengetahui perbuatannya tercela
secara sosial, dapat bicara panjang lebar di layar televisi dengan
ekspresi tidak berdosa.
Setiap
proses penjajahan membutuhkan kelangsungan atau kelanjutan. Dan, ketika
berbicara kelanjutan, maka penjajahan harus berbicara penaklukan dan
penghancuran; penaklukan kesadaran rakyat dan penghancuran identitas
nasionalnya.
Marilah
kita mengingat gagasan Bung Karno separuh abad silam mengenai “nation
building”. Dalam fase nation building itu, kata Soekarno, kita harus
menggempur semua faham yang menghalangi kemajuan bangsa, seperti
ego-sentrisme, kemalasan, korupsi, dan lain sebagainya. Soekarno
menganjurkan: “Jadilah manusia Indonesia, manusia Pembina, manusia yang
benar-benar sampai kepada tulang sumsumnnya bersemboyan ‘satu buat
semua, semua buat pelaksanaan satu cita-cita”.
Kita
benar-benar dalam situasi yang genting; krisis sebagai sebuah bangsa.
Krisis ini, jika tidak segera diobati, maka bisa membuat bangsa kita
akan tenggelam. Dan, untuk mengobatinya, kita harus memperjuangkan
sebuah gerakan untuk kembali pada jalan yang sebenarnya–sebuah jalan
yang harus mengarah kepada tujuan nasional sebagaimana telah
dideklarasikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar disini....