Jumlah
anak jalanan dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan.
Terjadinya krisis ekonomi di Indonesia sejak pertengahan tahun 1997
diyakini oleh banyak pihak sangat berpengaruh terhadap peningkatan
jumlah anak jalanan di Indonesia. Pada awal terjadinya krisis ekonomi,
peningkatan jumlah anak jalanan di Indonesia mencapai sekitar 400%
(Kompas, 4/12/1998). Untuk di daerah DKI Jakarta jumlah anak jalanan
mengalami peningkatan hingga 50%. Jika pada 2008 jumlahnya sekitar 8.000
orang, namun pada 2009 meningkat menjadi lebih dari 12.000 anak
jalanan.
Krisis
ekonomi yang berlanjut menjadi krisis multidimensi yang terjadi di
Indonesia, telah mengakibatkan melonjaknya jumlah keluarga miskin dan
peningkatan anak jalanan. Dengan tekanan ekonomi yang dialami keluarga
miskin tersebut, menempatkan “anak” sebagai pihak yang paling sering
dirugikan, mulai dari yang harus berhenti sekolah atau bahjan ikut
bekerja demi membantu perekonomian keluarganya. Tak pelak, jalanan
menjadi pilihan yang rasional bagi mereka guna mencari nafkah.
Beraneka
ragam fenomena yang harus dihadapi oleh anak jalanan. Sebagian anak
jalanan masih ada yang pulang ke rumah dan ada yang tidak punya rumah
lagi. Sebagian masih ada yang sedang sekolah dan ada yang sudah putus
sekolah. Waktu anak-anak jalanan di jalanan bervariasi yaitu dari pagi
sampai malam hari, siang hari sampai malam hari, dan sore hari sampai
malam hari. Anak-anak jalanan pun bervariasi dari segi umur. Ada juga
anak jalanan laki-laki dan perempuan. Anak jalanan perempuan pernah
mengalami tindak kekerasan oleh aparat keamanan dalam operasi razia dan
rawan terhadap pelecehan seksual. Anak-anak jalanan menjadikan tempat
mangkalnya sebagai tempat berteduh, berlindung, sekaligus mencari sumber
kehidupan, meskipun ada juga yang masih tinggal dengan keluarganya.
Keberadaan
dan berkembangnya jumlah anak jalanan merupakan permasalahan sosial
yang sangat perlu mendapat perhatian. Anak jalanan sangat rentan untuk
mendapatkan situasi yang buruk seperti menjadi korban dari berbagai
perlakuan salah dan eksploitasi, diantaranya adalah kekerasan fisik,
penjerumusan ke tindakan kriminal, penyalahgunaan narkoba, objek sosial,
dan sebagainya. Situasi semacam ini akan berdampak buruk bagi anak
sendiri maupun lingkungan di mana mereka berada. Keseluruhan situasi
yang dihadapi anak jalanan mengakibatkan terhambatnya perkembangan
kapasitas anak baik secara fisik, mental dan sosial.
Upaya
perlindungan terhadap anak menunjukkan perkembangan yang menggembirakan
dengan lahirnya Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) yang diadopsi oleh PBB pada
tahun 1989. Indonesia diketahui turut menandatangani dan meratifikasi
KHA tersebut melalui Keppres No. 36 tahun 1990. Dengan demikian,
Indonesia terikat secara yuridis (dan politis) untuk mengimplementasikan
KHA. Hanya saja, sejauh ini upaya-upaya pemerintah untuk memberikan
perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak belum memadai. Pada kenyataan
sehari-hari, meskipun sudah ada KHA yang ditetapkan, kejahatan dan
eksploitasi seksual terhadap anak sering terjadi. Anak-anak jalanan
merupakan kelompok yang paling rentan menjadi korban. Anak-anak yang
seharusnya dalam lingkungan belajar, bermain dan berkembang, justru
mereka harus mengarungi kehidupan yang keras.
Jalanan
pada dasarnya bukanlah tempat yang baik untuk perkembangan fisik dan
mental anak. Banyak sekali situasi-situasi di jalanan yang dapat
membahayakan keselamatan anak dan dapat menimbulkan banyak tekanan
kepada mereka. Namun keadaan yang pada akhirnya harus menuntut mereka
untuk turun ke jalanan.
Diketahui
bahwa tidak semua anak-anak yang di jalanan itu tidak memiliki rumah
atau tinggal di jalanan. Hal ini membedakan antara anak jalanan di
negara berkembang dan di negara maju. Di negara maju seperti Amerika
Serikat, sebagian besar anak yang hidup di jalanan adalah remaja yang
melarikan diri dan biasanya mereka tinggal di tempat penampungan ataupun
dengan kerabat atau teman. Sedangkan di negara berkembang seperti
Brazil, sebagian besara anak jalanan tidak benar-benar tinggal di
jalanan tetapi mereka pulang ke rumah bersama keluarganya. Mereka di
jalanan hanya untuk bekerja.
Definisi tentang anak jalanan sampai saat ini dikalangan pemerintah, ilmu sosial, dan masyarakat umum terdapat pemahaman yang berbeda. Perbedaan ini menyangkut batasan, umur, dan hubungan anak dengan keluarga. Beberapa hasil penelitian juga mengatakan bahwa mendefinisikan anak jalanan secara umum yang dapat diterima oleh semua pihak sangatlah sulit karena cakupan permasalahannya yang sangat komplek dan bervariasi atas aktivitas mereka.
Definisi tentang anak jalanan sampai saat ini dikalangan pemerintah, ilmu sosial, dan masyarakat umum terdapat pemahaman yang berbeda. Perbedaan ini menyangkut batasan, umur, dan hubungan anak dengan keluarga. Beberapa hasil penelitian juga mengatakan bahwa mendefinisikan anak jalanan secara umum yang dapat diterima oleh semua pihak sangatlah sulit karena cakupan permasalahannya yang sangat komplek dan bervariasi atas aktivitas mereka.
Ada
berbagai faktor pendorong dan penarik yang menyebabkan anak turun ke
jalan. Dan banyak orang yang menyakini bahwa kemiskinan merupakan faktor
utama yang mendorong anak pergi kejalanan. Kekerasan dalam keluarga
banyak diungkapkan sebagai salah satu faktor yang mendorong anak lari
dari rumah dan pergi kejalanan. Kekerasan yang dilakukan berupa
kekerasan fisik, kekerasan mental, dan kekerasan seksual. Seorang anak
bisa mengalami lebih dari satu jenis kekerasan yang dilakukan oleh
anggota keluarganya. Anak jalanan yang yang diakibatkan karena kekerasan
mental sebagian besar karena dimarahi atau merasa tidak dipercaya dan
selalu disalahkan oleh anggota keluarganya. Pergi ke jalanan dinilai
sebagai upaya untuk melepaskan atau menghindari tekanan yang dihadapi di
dalam keluarga. Pada tahapan awal mereka tidak melakukan kegiatan –
kegiatan untuk medapatkan uang. Pada perkembangannya mereka terpengaruh
oleh lingkungan atau dipaksa oleh situasi untuk melakukan kegiatan yang
menghasilkan uang yang digunakan untuk membiayai hidup mereka sendiri.
Dorongan
dari keluarga biasanya dengan cara mengajak anak pergi ke jalanan untuk
membantu pekerjaan orangtuanya atau menyuruh anak untuk melakukan
kegiatan-kegiatan dijalanan yang menghasilkan uang. Motif ekonomi yang
mendasari orangtua mendorong anaknyauntuk pergi kejalanan cenderung
bersifat eksploitatif. Pada beberapa kasus anak tidak sekedar memberikan
kontribusi bagi ekonomi keluarga namun menjadi sumber utama dari
keluarga tersebut.
Faktor
teman juga bisa menyebabkan anak turun ke jalanan, yaitu adanya
dukungan sosial atau bujuk rayu dari teman. Dalam perkembangan sosial
remaja, harga diri yang positif sangat berperan dalam pembentukan
pribadi yang kuat, sehat dan memiliki kemampuan untuk menentukan
pilihan, termasuk mampu berkata “tidak” untuk hal-hal negative. Dengan
kata lain tidak mudah terpengaruh berbagai godaan yang dihadapi seorang
remaja setiap hari dari teman sebaya mereka sendiri.
Kondisi
anak jalanan adalah kondisi yang memprihatinkan. Apabila persoalan anak
jalanan dibiarkan beitu saja. Maka dampak buruk akan semakin meningkat.
Persoalan anak jalanan bukanlah persoalan individual tapi permasalahan
sosial.
Akan
banyak dampak yang terjdi keedepan, terutama pada anak jalanan itu
sendiri. Anak jalanan hidup dalam lingkungan yang tidak kondusif.
Kondisi lingkungan hidup mereka tidak memenuhi standar kesehatan. Hal
ini akan berdampak bagi kesehatan mereka di masa yang akan datang.
Kehidupan mereka paling banyak di jalanan, tapi kondisi lingkungan
jalanan tidak baik bagi kesehatan yaitu sinar matahari di siang hari
memancarkan radiasi sinar UV bisa menyebabkan kanker kulit, hujan dan
angin yang melemahkah organ tubuh mereka, debu dan asap kendaraan yang
bisa menyebabkan penyakit kardiovasikular. Gizi mereka juga tidak
tercukupi karena kondisi ekonomi yang tidak memadai. Hal ini akan
berdampak bagi kesehatan mereka.
Hal
lain yang akan berdampak kepada anak jalanan adalah masalah
perkembangan psikologisnya. Dalam kehidupan jalanan banyak kekerasan
yang terjadi baik secara verbal maupun nonverbal. Ada kemungkinan yang
besar anak jalanan akan melihat, merasakan dan mengalami kekerasan. Hal
ini bisa mempengaruhi kondisi psikologis dari anak jalanan yaitu masalah
kebahagian, self esteem dan coping stress yang mereka gunakan.
Sedangkan
kekerasan sosial pada anak jalanan dapat terlihat dari bentuk
eksploitasi anak oleh orang yang lebih dewasa seperti orang tua atau
sindikat yang bekerja di jalanan. Menurut Hapsari (2007) hal ini biasa
disebut sistem bondage dimana anak tidak hanya diminta untuk menyerahkan
uang hasil bekerja, tetapi lebih dari itu, mereka biasanya ditargetkan
jumlah uang yang harus diserahkan setiap harinya. Apabila jumlah yang
ditentukan tidak didapatkan maka anak tidak hanya mendapat siksaan
berupa emosional namun juga berupa kekerasan fisik. Bahkan anak-anak
yang diekploitasi ini menurut Huraerah (2007) terkadang dibiarkan begitu
saja dan tidak dipenuhi kebutuhan hidupnya seperti makanan, pakaian,
pendidikan, kesehatan, air bersih, kesempatan untuk bermain dan waktu
luang.
Sekarang
ini masyarakat seolah sudah mengganggap biasa menjamurnya anak-anak
yang bekerja di jalanan sampai-sampai kita hampir melupakan bahwa disisi
lain hidup ini ada sosok yang harus diperhatikan bukan seolah
dipinggirikan karena sudah menjadi kebiasaan. Tidak hanya rasa kasihan
sesaat dengan memberikan uang yang mereka perlukan namun lebih dari dari
itu dan bersifat jangka panjang.
Beberapa hal yang ingin kami sampaikan antara lain:
- Dengan melihat jumlah peningkatan anak jalanan dalam tiap tahunnya, setidaknya kita mampu memerhatikan dan ikut berkontribusi dalam permasalahan-permasalahan ini
- Setidaknya untuk anak jalanan diusahakan jangan diberi uang secara langsung, berilah mereka dalam bentuk jadi seperti susu (dalam saset), peralatan tulis, biscuit atau bentuk lain selain uang. Dengan kita melakukan ini setidaknya kita ikut membantu untuk peningkatan gizi nasional dan peningkatan kualitas pendidikan
- Dengan tidak memberi mereka uang, diharapkan para orang tua atau orang dewasa yang mengkoordinir anak jalanan menjadi jera, mereka tidak mendapatkan uang lagi melainkan susu (dalam saset), peralatan tulis, biscuit atau bentuk lain selain uang
- Diharapkan dengan keadaan seperti ini, para orang dewasa pengkoordinir anak jalanan beralih menjadi pedagang asongan yang menjajakan susu (dalam saset), peralatan tulis, biscuit, dan lain-lain, akibat dari tumbuhnya kebutuhan baru di kalangan masyarakat yaitu kemudahan mendapatkan benda tersebut di atas. Dalam hal ini kita pun telah ikut membantu mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia dengan menumbuhkan ruang usaha baru. Hal ini pernah terjadi ketika masyarakat perkotaan demam masker. Sebelumnya, kita cukup sulit mendapatkan masker, kita harus ke apotik atau mini market untuk mendapatkannya, namun sekarang pedagang asongan di jalanan pun sudah menjajakannya.
Permasalahan
yang akan datang ini adalah permasalah bersama, bukan hanya bagi anak
jalanan tapi juga bagi setiap orang. Permasalahan ini akan ada dan
kemungkinan meningkat secra kuantitas dan kualitas apabila dibiarkan
begitu saja. Setiap orang bisa berkontribusi untuk permaasalahan ini
dengan melakukan intervensi-intervensi bagi anak jalanan
Setiap
anak di Indonesia adalah generasi penerus bangsa. Setiap anak mempunyai
potensi yang nantinya bisa memajukan bangsa. Sehingga setiap anak
dididik agar mereka bisa memanfaatkan potensi yang ada pada mereka di
masa depan. Anak jalan tidak memiliki kesempatan yang sama dengan anak
yang lain untuk mengecap pendidikan baik pendidikan umum ataupun khusus.
Akibatnya, potensi yang ada pada mereka tidak tereksplorasi. Kemampuan
mereka tidak digunakan secara maksimal untuk pembangunan nasional.Pembangunan nasional juga terkait dengan isu kemiskinan yang bisa ditimbulkan apbila anak jalanan tidak diatasi. Pembangunan nasional adalah untuk meningkatkan kualitas hidup bangsa. Dengan kemiskinan yang masih adalah hal yang sulit untuk memimpikan Indonesia yang maju.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar disini....